Utsman bin Affan, yang mempunyai
nama lengkap Utsman ibn Affan ibn Abdil Ash ibn Umayyah,merupakan anak
dari pasangan Affan dan Arwa. Utsman lahir pada tahun 576 H di Taif[1] dan merupakan keturunan keluarga
besar Bani Umayyah suku Quraisy. Ia mendapatkan kehormatan menikahi dua orang
putri Rasulullah SAW, yaitu Ruqayyah dan Ummi Kultsum sehingga diberi julukan
Dzu al-Nurain.
Sebelum memeluk Islam, ia sudah
dikenal sebagai seorang pedagang yang kaya raya. Ia juga mempunyai sifat-sifat
mulia lainnya, seperti sederhana, jujur, cerdas, shaleh dan dermawan. Ketika
telah memeluk agama Islam, pada usia usia 34 tahun bersama Thalhah bin
Ubaidilah, selain dikenal sebagai salah seorang sahabat terdekat nabi, ia juga
dikenal sebagai seorang penulis wahyu. Ia selalu bersama Rasulullah SAW, dan
selalu mengikuti semua peperangan kecuali perang Badar karena Rasulullah SAW
memerintahkan Utsman untuk menunggui istrinya, Ruqoyyah, yang saat itu sedang
sakit keras.
Sebagai seorang hartawan yang kaya
raya, Utsman mempergunakan hartanya demi kejayaan Islam. Ia tak segan-segan
menyumbangkan hartanya untuk biaya perang, maupun hal-hal lain yang berhubungan
dengan penyebaran dan kehormatan agama Islam.
Menjelang wafatnya Umar bin Khattab,
beliau menunjuk 6 orang sahabatnya untuk dicalonkan sebagai pengganti. Mereka
adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqash, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah[2]. Keenam orang tersebut disebut sebagai Ahlul
Halli wal Aqdi.
Alasan Umar menunjuk keenam orang
tersebut karena ia merasa tidak sebaik Abu Bakar dalam menunjuk penggantinya,
juga tidak sebaik Rasulullah SAW untuk membiarkan para sahabat memilih
pengganti. Maka diambillah jalan tengah dengan membentuk tim formatur untuk
bermusyawarah menentukan pengganti dirinya.[3]
Karena kelompok tersebut beranggotakan
6 orang, maka untuk mencegah terjadinya suara yang sama ketika diadakan voting,
dimasukkanlah Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khattab. Abdullah bin Umar
hanya berhak memilih, namun tak berhak untuk dipilih sebagai khalifah. Dari
hasil voting, terpilihlah Utsman bin Affan sebagai khalifah selanjutnya. Ia
dipilih pada bulan Dzulhidzah tahun 23 H dan dilantik pada awal Muharram 24 H.
Utsman bin Affan Menjabat sebagai
khalifah semenjak 23-35 H atau 644-656 Masehi. Ia merupakan khalifah yang
memerintah terlama, yaitu 12 tahun. Dari segi politik, pada masa
pemerintahannya ia banyak melakukan perluasan daerah islam dan merupakan
khalifah yang paling banyak melakukan perluasan. Hal ini sebanding dengan
lamanya ia menjabat sebagai khalifah. Pada masanya, Islam telah berkembang pada
seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia. Pesatnya perkembangan
wilayah Islam didasarkan karena tingginya semangat dakwah menyebarkan agama
Islam. Selain itu, sikap para pendakwah Islam yang santun dan adil membuat
Islam mudah untuk diterima para penduduk wilayah-wilayah tersebut.
Selain banyak melakukan perluasan
daerah, dari segi politik, Utsman adalah khalifah pertama yang membangun
angkatan laut. Alasan pembuatan angkatan laut tersebut masih berhubungan dengan
keinginan untuk memperluas daerah Islam. Karena untuk mencapai daerah-daerah
yang akan ditaklukkan harus melalui perairan, Utsman berinisiatif untuk
membentuk angkatan laut. Selain itu, pada saat itu banyak terjadi
serangan-serangan dari laut. Hal ini semakin memperkuat alasan Utsman untuk
membentuk angkatan laut.
Dari segi ekonomi, yaitu tentang
pelaksanaan baitul maal, Ustman hanya melanjutkan pelaksanaan yang telah
dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Namun, pada masa
Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi karena terlalu banyak mengambil
uang dari baitul maal untuk diberikan kepada kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan
dari pemberian uang tersebut karena Utsman ingin menjaga tali silaturahim.
Selain itu, disamping dari segi baitul maal, Utsman juga meningkatkan
pertanian. Ia memerintahkan untuk menggunakan lahan-lahan yang tak terpakai
sebagai lahan pertanian.
Dari segi pajak, Utsman, sama
seperti dari segi baitul maal, melanjutkan perpajakan yang telah ada pada masa
Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman pemberlakuan pajak tidak berjalan baik
sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa Utsman, demi memperlancar ekonomi dalam
hal perdagangan, ia banyak melakukan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan
jalan-jalan dan sebagainya.
Dari dimensi sosial budaya, ilmu
pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam[4]. Dengan adanya perluasan wilayah, maka
banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan
agama Islam. Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli
dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik.
Dari segi sosial budaya, Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini
merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan dilakukan di mesjid.
Utsman juga melakukan penyeragaman bacaan Al Qur’an juga perluasan Mesjid Haram
dan Mesjid Nabawi.
Penyeragaman bacaan dilakukan karena pada masa Rasulullah Saw, Beliau
memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan
menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek) masing-masing.
Seiring bertambahnya wilayah Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk
agama Islam, pembacaan pun menjadi semakin bervariasi[5].Akhirnya sahabat Huzaifah bin Yaman
mengusulkan kepada Utsman untuk menyeragamkan bacaan. Utsman pun lalu membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid
bin Tsabit untuk menyalin mushaf yang disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan
bacaan Qur’an. Perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi sendiri dilakukan
karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang melaksanakan haji setiap
tahunnya.
Para pencatat sejarah membagi masa
pemerintahan Utsman menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan masa
pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah merupakan masa
pemerintahan yang buruk[6]. Pada akhir pemerintahan Utsman, terjadi
banyak konflik, seperti tuduhan nepotisme dan tuduhan pemborosan uang Negara.
Tuduhan pemborosan uang Negara karena Utsman dianggap terlalu boros mengambil
uang baitul maal untuk diberikan kepada kerabatnya, dan tuduhan nepotisme
karena Utsman dianggap mengangkat pejabat-pejabat yang merupakan kerabatnya.
Padahal, tuduhan ini terbukti tidak benar karena tidak semuanya pejabat yang
diangkat merupakan kerabatnya. Selain itu, meski kerabatnya sendiri, jika
pejabat tersebut melakukan kesalahan, maka Utsman tidak segan-segan untuk
menghukum dan memecatnya.
Sayangnya, tuduhan nepotisme itu
terlalu kuat. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa Utsman melakukan
nepotisme. Hal ini diperkuat dengan adanya golongan Syiah, yaitu golongan yang
sangat fanatik terhadap Ali dan berharap Ali yang menjadi khalifah, bukan
Utsman. Fitnah yang terus melanda Utsman inilah yang memicu kekacauan dan
akhirnya menyebabkan Utsman terbunuh di rumahnya setelah dimasuki oleh sekelompok
orang yang berdemonstrasi di depan rumahnya. Setelah meninggalnya Utsman, Ali
lalu ditunjuk menjadi penggantinya untuk mencegah kekacauan yang lebih lanjut.
Ali adalah putera Ali bin Abi Thalib
bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf
al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah
SAW yaitu suami dari puteri Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Ali masuk Islam
tatkala usianya belum mencapai 10 tahun. Dengan demikian, Ali adalah orang yang
pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW semenjak
kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian setelah kakeknya meninggal
beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat hendak menolong dan
membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali.
Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau
termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal
dengan keberaniannya dan hampir diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah,
Ali senantiasa berada dibarisan depan. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah,
beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu
pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan
tanpa musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam
banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali
juga tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak.
Ali bin Abi Thalib bin Abdul
Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada
tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32
tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.
Pengukuhan Ali menjadi khalifah
tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di
tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan,
pertentangan dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat
senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar
bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum
pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi
khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar
bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki
agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari
sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa
umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang
lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat
dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair,
tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin
Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan
Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at
Ali. Abdullah dan Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah
membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair, mereka membai’at secara terpaksa.
Mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah
dan Bashrah.[7]
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at
oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu
tidak barada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru,
dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak
hanya berada di tanah Hejaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar
Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at
Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya
Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti pencarian pelaku atas
pembunuhan Utsman tetapi malah mengutamakan pemerintahannya.
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi,
mereka melakukan pembai’atan.Setelah pelantikan selesai, Ali menyampaikan
pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi.
Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:“Sesungguhnya
Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan
keburukan. Maka ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah
menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga.
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas,
memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan
keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat
menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah
seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi
kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai
pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang
ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan
ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah.”
“Wahai manusia, kamu telah membai’at
saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu
daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi,
jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh,
dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at
yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia
dari agama Islam.” [8]
Ada banyak peperangan yang terjadi
di masa Ali, di antaranya:
1. Perang
Jamal / Perang Unta
Selama masa pemerintahannya, Ali
menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang
dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur yang
diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi
karena keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara
orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali,
kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan.
Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan
yang merupakan keluarga Utsman sendiri dengan alasan:
· Ali
harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman
· Wilayah
Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.
Oleh karena itu hak untuk menentukan
pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah
saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga
permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu
dekat. Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari
berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui
Ali menjabat sebagai khalifah keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka
hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali adalah
memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya sebagai khalifah dan
berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru melakukan
pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun
pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga
memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap
para pembunuh Utsman. Sehingga Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair
menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Utsman.
Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan pasukannya memutuskan
menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk
menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin
menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar
mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun,
ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah,
yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran
tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah yang
terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan
pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman
dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah
tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagaiUmmul Mu’minin.
Bahkan setelah pertempuran usai,
Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya
Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya
sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal
yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
2. Perang
Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dariGubernur di Damaskus, Mu’awiyah,
yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, GubernurDamaskus dan keluarga
dekat Utsman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Alimengadili pembunuh
Utsman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalampembunuhan Utsman. Selain
itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.Hal ini bisa dilihat dari situasi
kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantungjubah Utsman yang berlumuran
darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbarmasjid. Sehingga hal itu
menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Denganadanya peristiwa
tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas
pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan
gabungan menuju keSyiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus
sungai Euprate, namun arussungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah
dan pihak Mu’awiyah tidakmengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut.
Awalnya Ali mengirim utusanpada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh
kedua pihak, namun Mu’awiyahmenolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah
pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai
tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasaipihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan
tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai
maka pihak Ali mendirikan garis pertahanandidataran Shiffin, dan Ali masih
berharap dapat mencapai penyelesaian dengan caradamai. Ali mengirim utusan
dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untukmelangsungkan perundingan dengan
pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 Mmereka mencapai persetujuan
yakni menghentikan perundingan untuk sementara danmasing-masing pihak akan
memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan
Ali karena akan mengurangi semangattempur tentaranya dan pihak lawan bisa
memperbesar kekuatannya. Namun sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan
firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’ ayat59. Dengan mengenali
prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah Ali
menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk
mengangkat bai’at Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap
dirinya. Maka bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan
95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat
perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islamdi kota Mekkah) tewas.
Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklansemangat tempur yang
tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak
Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang
panji-panjiperang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada
pihak lawanmaka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah
pihak Mu’awiyah,Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung
tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu
Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu
muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata
jikalau mereka telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk
tidak menerimanya, bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi
mengancam: “Hai Ali, mariberserah kepada kitabullah jikalau anda
menolak maka kami akan berbuat terhadap andaseperti apa yang kami perbuat pada
Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang
sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari
pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan
takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah,
bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga
golongan itu adalah golongan Ali, pengikutMu’awiyah dan Khawarij (orang-orang
yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujungmasa pemerintahan Ali, umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
3. Perang
Nahrawan
Setelah terjadi tahkimsebagian
tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yangmenerima arbitrase karena itulah
mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenaldengan nama Khawarij.
Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
· Mu’awiyah
dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah
mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka
wajib dibasmi.
· Ali
dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah raguterhadap
kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuhuntuk
membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
· Dan
yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ahdan
membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
· Pemuka
kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAlitidak ingin
memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalambersikap
diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengansadis sekali
hanya karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggalNabi adalah
kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Ali.
· Ali
menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatutempat bernama
Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Ali masih
punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij. Dan Ali memberikan amnesti
bersyarat yang berbunyi: “Barang siapapulang kembali ke Kufah, akan
memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelahitu 500 orang diantara
mereka ber-iktijalsebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagipindah ke pihak Ali
sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang
Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karenakeberanian kelompok Khawarij
sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenanganberada dipihak Ali dan
tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhabtewas dalam
peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin
Abi Thalib) yangbermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga
memberikan kesempatanpada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas
kekuasannya sampai mampumerebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali.
Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar,
keberhasilan Mu’awiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas sumber-sumber
kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihakAli.
4. Perang
Badar
Beberapa saat setelah Ali menikah,
pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali
betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang
tewas ditangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi
bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
5. Perang
Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi
nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan
satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah
menjadi dua bagian.
6. Perang
Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang
memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian
hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan
Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan
perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi
SAW bersabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang
yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah
akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka, seluruh sahabat pun
berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali
bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan
benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani
bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua
bagian.
Dan masih banyak lagi peperangan
lainnya yang Ali ikuti keculai Perang Tabuk, karena pada saat itu Ali mewakili
Rasulullah untuk menjaga kota Madinah.[9]
Masa pemerintahan Khlifah Ali bin
Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan.Sekalipun demikian,
Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai
kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.Pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang
rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama
kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran.
Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai
penghitungan baru.
Cara ini mungkin solusi yang terbaik
dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa
transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di
Irak.Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi
umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam
suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat
yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta
tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan
dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan
staf-stafnya, menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi
hukum lainnya.[10]
Perkembangan yang ada pada masa Ali
adalah:
· Terciptanya
ilmu bahasa/nahwu (Aqidah Nahwiyah)
· Berkembangnya
ilmu Khat al-Qur’an
· Berkembangnya
Sastra.[11]
Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu
para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang al-Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah.Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi
Thalib, yaitu sepupu
danmenantuMuhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah
penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui
perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari
Allah.Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakarmenjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah
dan Sunnidalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawiHadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara
yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak
dipergunakan.Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga
dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun
sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat
ini.
Ali wafat di usia 63 tahun karena
pembunuhan oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan
Khawarij(pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal
19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun
40 Hijriyah, Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf.
[1]M Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka
Book Publisher, 2007, hal.89.
[2] Drs
H. Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra,
209, hal.54.
[3]M Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka
Book Publisher, 2007, hal.88.
[4] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2009,
hal.59.
[5] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2009, hal.58.
[6]M.A.
Shaban, Islamic History, a New Interpretation, London: Cambridge
University Press, 1971.
[7] Ath-Thabari,
op. cit., hlm. 448-457; Lihat pula Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 153.
[8] Suyuthi
Pulungan, Ibid.